Tinjauan Pustaka
Visus (ketajaman
penglihatan) adalah nilai kebalikan sudut (dalam menit) terkecil di mana sebuah
benda masih kelihatan dan dapat dibedakan (Gabriel, 1995 dalam Gita, 2009). Menurut Edi S. Affandi (2005) dalam Gita
(2009), tajam penglihatan adalah kemampuan untuk membedakan antara dua titik
yang berbeda pada jarak tertentu.
Visus (ketajaman penglihatan) adalah ukuran, berapa jauh, dan detail suatu
benda dapat tertangkap oleh mata sehingga visus dapat disebut sebagai fisiologi
mata yang paling penting. Ketajaman penglihatan didasarkan pada prinsip tentang
adanya daya pisah minimum yaitu jarak yang paling kecil antara 2 garis yang
masih mungkin dipisahkan dan dapat ditangkap sebagai 2 garis (Murtiati dkk, 2010).
Dikenal beberapa titik
di dalam bidang refraksi, seperti Pungtum Proksimum merupakan titik terdekat
dimana seseorang masih dapat melihat dengan jelas. Pungtum Remotum adalah titik
terjauh dimana seseorang masih dapat melihat dengan jelas, titik ini merupakan
titik dalam ruang yang berhubungan dengan retina atau foveola bila mata
istirahat. Pada emetropia, pungtum remotum terletak di depan mata (Ilyas, 2004 dalam Gita, 2009).
Secara klinik kelainan
refraksi adalah akibat kerusakan ada akomodasi visual, entah itu sebagai akibat perubahan biji
mata, maupun kelainan pada lensa. Kelainan refraksi yang sering dihadapi
sehari-hari adalah miopia, hipermetropia, presbiopia, dan astigmatisma.
a)
Miopi
Pada miopia panjang bola mata anteroposterior dapat terlalu besar atau kekuatan pembiasan media refraksi terlalu kuat. Pasien dengan miopia akan menyatakan melihat jelas bila dekat, sedangkan melihat jauh kabur atau disebut pasien adalah rabun jauh. Seseorang miopia mempunyai kebiasaan mengeryitkan matanya untuk mencegah aberasi sferis atau untuk mendapatkan efek pinhole (lubang kecil) (Ilyas, 2004 dalam Gita, 2009). Miopia tampak bersifat genetika, tetapi pengalaman penglihatan abnormal seperti kerja dekat berlebihan dapat mempercepat perkembangannya. Cacat ini dapat dikoreksi dengan kacamata lensa bikonkaf (lensa cekung), yang membuat sinar cahaya sejajar berdivergensi sedikit sebelum ia mengenai mata (Ganong, 2002).
Pada miopia panjang bola mata anteroposterior dapat terlalu besar atau kekuatan pembiasan media refraksi terlalu kuat. Pasien dengan miopia akan menyatakan melihat jelas bila dekat, sedangkan melihat jauh kabur atau disebut pasien adalah rabun jauh. Seseorang miopia mempunyai kebiasaan mengeryitkan matanya untuk mencegah aberasi sferis atau untuk mendapatkan efek pinhole (lubang kecil) (Ilyas, 2004 dalam Gita, 2009). Miopia tampak bersifat genetika, tetapi pengalaman penglihatan abnormal seperti kerja dekat berlebihan dapat mempercepat perkembangannya. Cacat ini dapat dikoreksi dengan kacamata lensa bikonkaf (lensa cekung), yang membuat sinar cahaya sejajar berdivergensi sedikit sebelum ia mengenai mata (Ganong, 2002).
b)
Hipermetropia
Hipermetropia atau rabun dekat merupakan keadaan gangguan kekuatan pembiasan mata dimana sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik fokusnya terletak di belakang retina. Pasien dengan hipermetropia apapun penyebabnya akan mengeluh matanya lelah dan sakit karena terus menerus harus berakomodasi untuk melihat atau memfokuskan bayangan yang terletak di belakang makula agar terletak di daerah makula lutea. Keadaan ini disebut astenopia akomodatif. Akibat terus menerus berakomodasi, maka bola mata bersama-sama melakukan konvergensi dan mata akan sering terlihat mempunyai kedudukan estropia atau juling ke dalam (Ilyas, 2004 dalam Gita, 2009). Cacat ini dapat dikoreksi dengan menggunakan kacamata lensa cembung, yang membantu kekuatan refraksi mata dalam memperpendek jarak fokus (Ganong, 2002)
Hipermetropia atau rabun dekat merupakan keadaan gangguan kekuatan pembiasan mata dimana sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik fokusnya terletak di belakang retina. Pasien dengan hipermetropia apapun penyebabnya akan mengeluh matanya lelah dan sakit karena terus menerus harus berakomodasi untuk melihat atau memfokuskan bayangan yang terletak di belakang makula agar terletak di daerah makula lutea. Keadaan ini disebut astenopia akomodatif. Akibat terus menerus berakomodasi, maka bola mata bersama-sama melakukan konvergensi dan mata akan sering terlihat mempunyai kedudukan estropia atau juling ke dalam (Ilyas, 2004 dalam Gita, 2009). Cacat ini dapat dikoreksi dengan menggunakan kacamata lensa cembung, yang membantu kekuatan refraksi mata dalam memperpendek jarak fokus (Ganong, 2002)
c)
Presbiopia
Presbiopia adalah gangguan akomodasi pada usia lanjut yang dapat terjadi akibat kelemahan otot akomodasi dan lensa mata tidak kenyal atau berkurang elastisitasnya akibat sklerosis lensa. Akibat gangguan akomodasi ini maka pada pasien berusia lebih dari 40 tahun, akan memberikan keluhan setelah membaca yaitu berupa mata lelah, berair, dan sering terasa pedas (Ilyas, 2004 dalam Gita, 2009). Keadaan ini dapat dikoreksi dengan memakai kacamata lensa cembung (Ganong, 2002).
Presbiopia adalah gangguan akomodasi pada usia lanjut yang dapat terjadi akibat kelemahan otot akomodasi dan lensa mata tidak kenyal atau berkurang elastisitasnya akibat sklerosis lensa. Akibat gangguan akomodasi ini maka pada pasien berusia lebih dari 40 tahun, akan memberikan keluhan setelah membaca yaitu berupa mata lelah, berair, dan sering terasa pedas (Ilyas, 2004 dalam Gita, 2009). Keadaan ini dapat dikoreksi dengan memakai kacamata lensa cembung (Ganong, 2002).
d)
Astigmatisma
Kelainan refraksi karena kelengkungan kornea yang tidak teratur disebut astigmatisma. Pada penderita astigmatisma, sistem optik yang astigmatismatik menimbulkan perbesaran atas satu objek dalam berbagai arah yang berbeda. Satu titik cahaya yang coba difokuskan, akan terlihat sebagai satu garis kabur yang panjang. Mata yang astigmatisma memiliki kornea yang bulat telur, bukannya seperti kornea biasa yang bulat sferik. Kornea yang bulat telur memiliki lengkung (meridian) yang tidak sama akan memfokus satu titik cahaya atau satu objek pada dua tempat, jauh dan dekat. Lensa yang digunakan untuk mengatasi astigmatisma adalah lensa silinder. Tetapi pada umumnya, di samping lensa silinder ini, orang yang astigmatisma membutuhkan juga lensa sferik plus atau minus yang dipasang sesuai dengan porosnya (Youngson, 1995 dalam Gita, 2009).
Kelainan refraksi karena kelengkungan kornea yang tidak teratur disebut astigmatisma. Pada penderita astigmatisma, sistem optik yang astigmatismatik menimbulkan perbesaran atas satu objek dalam berbagai arah yang berbeda. Satu titik cahaya yang coba difokuskan, akan terlihat sebagai satu garis kabur yang panjang. Mata yang astigmatisma memiliki kornea yang bulat telur, bukannya seperti kornea biasa yang bulat sferik. Kornea yang bulat telur memiliki lengkung (meridian) yang tidak sama akan memfokus satu titik cahaya atau satu objek pada dua tempat, jauh dan dekat. Lensa yang digunakan untuk mengatasi astigmatisma adalah lensa silinder. Tetapi pada umumnya, di samping lensa silinder ini, orang yang astigmatisma membutuhkan juga lensa sferik plus atau minus yang dipasang sesuai dengan porosnya (Youngson, 1995 dalam Gita, 2009).
Ketajaman penglihatan seseorang
dapat berkurang. Hal ini disebabkan antara lain oleh faktor-faktor sebagai
berikut:
1)
Kuat Penerangan atau Pencahayaan
Mata manusia sensitif terhadap kekuatan
pencahayaan, mulai dari beberapa lux di dalam ruangan gelap hingga 100.000 lux
di tengah terik matahari. Kekuatan pencahayaan ini aneka ragam yaitu berkisar
2000-100.000 di tempat terbuka sepanjang siang dan 50-500 lux pada malam hari
dengan pencahayaan buatan. Penambahan kekuatan cahaya berarti menambah daya,
tetapi kelelahan relatif bertambah pula. Kelelahan ini diantaranya akan
mempertinggi kecelakaan.
Namun meskipun pencahayaan cukup, harus
dilihat pula aspek kualitas pencahayaan, antara lain faktor letak sumber
cahaya. Sinar yang salah arah dan pencahayaan yang sangat kuat menyebabkan kilauan
pada obyek. Kilauan ini dapat menimbulkan kerusakan mata. Begitu juga
penyebaran cahaya di dalam ruangan harus merata supaya mata tidak perlu lagi
menyesuaikan terhadap berbagai kontras silau, sebab keanekaragaman kontras
silau menyebabkan kelelahan mata. Sedangkan kelelahan mata dapat menyebabkan:
a.
Iritasi, mata berair dan kelopak mata
berwarna merah (konjungtivitis)
b.
Penglihatan rangkap
c.
Sakit kepala
d.
Ketajaman penglihatan merosot, begitu
pula kepekaan terhadap perbedaan (contrast sensitivity) dan kecepatan pandangan
e.
Kekuatan menyesuaikan (accomodation) dan
konvergensi menurun
(Direktorat Bina Peran Serta Masyarakat, 1990 dalam Gita, 2009).
2)
Waktu Papar
Pemaparan terus
menerus misalnya pada pekerja sektor perindustrian yang jam kerjanya melebihi
40 jam/minggu dapat menimbulkan berbagai penyakit akibat kerja. Yang dimaksud
dengan jam kerja adalah jam waktu bekerja termasuk waktu istirahat (Direktorat
Bina Peran Serta Masyarakat, 1990 dalam Gita, 2009). Meskipun terjadi keanekaragaman jam kerja, umumnya pekerja
informal bekerja lebih dari 7 jam/hari. Hal ini menimbulkan adannya beban
tambahan pada pekerja yang pada akhirnya menyebabkan kelelahan.mental dan
kelelahan mata.
3)
Umur
Ketajaman penglihatan
berkurang menurut bertambahnya usia. Pada tenaga kerja berusia lebih dari 40
tahun, visus jarang ditemukan 6/6, melainkan berkurang. Maka dari itu, kontras
dan ukuran benda perlu lebih besar untuk melihat dengan ketajaman yang sama
(Suma’mur, 1996 dalam Gita 2000). Makin banyak umur, lensa bertambah besar dan lebih pipih,
berwarna kekuningan dan menjadi lebih keras. Hal ini mengakibatkan lensa
kehilangan kekenyalannya, dan karena itu, kapasitasnya untuk melengkung juga
berkurang. Akibatnya, titik-titik dekat menjauhi mata, sedang titik jauh pada
umumnya tetap saja.
4)
Kelainan Refraksi
Hasil pembiasan sinar
pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang terdiri atas kornea, cairan
mata, lensa, benda kaca, dan panjangnya bola mata. Pada orang normal susunan
pembiasan oleh media penglihatan dan panjangnya bola mata demikian seimbang
sehingga bayangan benda selalu melalui media penglihatan dibiaskan tepat di
daerah makula lutea. Mata yang normal disebut sebagai mata emetropia dan akan
menempatkan bayangan benda tepat di retinanya pada keadaan mata tidak melakukan
akomodasi atau istirahat melihat jauh (Ilyas, 2004 dalam Gita, 2009).
Pemeriksaan Ketajaman Penglihatan
Visus penderita bukan
saja memberi pengertian tentang optiknya (kaca mata) tetapi mempunyai arti yang
lebih luas yaitu memberi keterangan tentang baik buruknya fungsi mata
keseluruhan (Gabriel, 1995 dalam Gita, 2009). Pemeriksaan tajam penglihatan merupakan pemeriksaan fungsi mata.
Gangguan penglihatan memerlukan pemeriksaan untuk mengetahui sebab kelainan
mata yang mengakibatkan turunnya tajam penglihatan. Tajam penglihatan perlu
dicatat pada setiap mata yang memberikan keluhan mata (Ilyas, 2004 dalam Gita, 2009). Pemeriksaan ketajaman penglihatan dapat
dilakukan dengan menggunakan Optotype Snellen, kartu Cincin Landolt, kartu uji
E, dan kartu uji Sheridan/Gardiner.
Tajam penglihatan dan
penglihatan kurang dibagi dalam tujuh kategori. Adapun penggolongannya adalah
sebagai berikut:
a. Penglihatan normal
Pada keadaan ini penglihatan mata adalah normal dan sehat.
b. Penglihatan hampir normal
Tidak menimbulkan masalah yang gawat, akan tetapi perlu penyebabnya.
Mungkin suatu penyakit masih dapat diperbaiki.
c. Low vision sedang
Dengan kacamata kuat atau kaca pembesar masih dapat membaca dengan cepat.
d. Low vision berat
Masih mungkin orientasi dan mobilitas umum akan tetapi mendapat kesukaran
pada lalu lintas dan melihat nomor mobil. Untuk membaca diperlukan lensa
pembesar kuat. Membaca menjadi lambat.
e. Low vision nyata
Bertambahnya masalah orientasi dan mobilisasi. Diperlukan tongkat putih
untuk mengenal lingkungan. Hanya minat yang kuat masih mungkin membaca dengan
kaca pembesar; umumnya memerlukan Braille, radio, pustaka kaset.
f. Hampir buta
Penglihatan kurang dari 4 kaki untuk menghitung jari. Penglihatan tidak
bermanfaat, kecuali pada keadaan tertentu. Harus mempergunakan alat nonvisual.
g. Buta total
Tidak mengenal rangsangan sinar sama sekali. Seluruhny tergantung pada alat
indera lainnya atau tidak mata (Ilyas, 2004 dalam Gita, 2009).
Walaupun terdapat bukti bahwa pengukuran lain lebih tetap, tajam
penglihatan biasanya didefinisikan berdasakan pengertian ”minimum seperabik”
(daya pisah minimum) yaitu jarak yang paling kecil antara 2 garis yang masih
memungkinkan dipisahkannya dan dapat di ”ditangkap” sebagai 2 garis. Baris
terkecil yang dapat dibedakan oleh seseorang menunjukkan ketajaman penglihatan
yang dimilikinya. Tajam penglihatan n ormal adalah 6/6. visus dihitung
denganmengguankan rumus = d/D, dimana d adalah jarak antara alat dengan OP dan
D adalah jarak tertentu sehingga ia dapat membaca huruf dalam satu deret yang
seharusnya dapat dibaca oleh orang normal. Biasanya di atas tiap-tiap deret
ditulis D = .....m. contoh bila seseorang dapat membaca huruf dalam D = 10 m,
dalam jarak d = 6 m, maka visus orang tersebut 6/10.
Satuan lain dalam meter dinyatakan sebagai visus 6/6. Dua puluh kaki
dianggap sebagai tak terhingga dalam perspektif optikal (perbedaan dalam
kekuatan optis yang dibutuhkan untuk memfokuskan jarak 20 kaki terhadap tak
terhingga hanya 0.164 dioptri). Untuk alasan tersebut, visus 20/20 dapat dianggap
sebagai performa nominal untuk jarak penglihatan manusia; visus 20/40 dapat
dianggap separuh dri tajam penglihatan jauh dan visus 20/10 adalah tajam
penglihatan dua kali normal.
Untuk
menghasilkan detail penglihatan, sistem optik mata harus memproyeksikan
gambaran yang fokus pada fovea, sebuah daerah di dalam makula yang memiliki
densitas tertinggi akan fotoreseptor konus/kerucut sehingga memiliki resolusi
tertinggi dan penglihatan warna terbaik. Ketajaman dan penglihatan warna
sekalipun dilakukan oleh sel yang sama, memiliki fungsi fisiologis yang berbeda
dan tidak tumpang tindih kecuali dalam hal posisi. Ketajaman dan penglihatan
warna dipengaruhi secara bebas oleh masing-masing unsur.
Hasil Pengamatan
Tabel 3.
Pemeriksaan Visus (ketajaman penglihatan)
Kelompok
|
Nama OP
|
Visus (ketajaman penglihatan)
|
|||
d= 6 meter/ 20 feet
|
d= 5 meter
|
||||
2 mata
|
1 mata
|
2 mata
|
1 mata
|
||
1
|
Dwiatri
|
20
ft
|
25
ft
|
20
ft
|
30
ft
|
2
|
Ratih
|
15
ft
|
20
ft
|
15
ft
|
15
ft
|
3
|
Dewi
|
15
ft
|
20
ft
|
15
ft
|
15
ft
|
4
|
Riski
|
25
ft
|
25
ft
|
20
ft
|
15
ft
|
5
|
Sintia
|
20
ft
|
30
ft
|
15
ft
|
25
ft
|
6
|
Veny
|
15
ft
|
30
ft
|
15
ft
|
25
ft
|
7
|
Anis
|
40
ft
|
40
ft
|
20
ft
|
30
ft
|
8
|
Yunita
|
15
ft
|
20
ft
|
15
ft
|
25
ft
|
Pembahasan
Visus adalah ketajaman atau kejernihan penglihatan, sebuah bentuk yang
khusus di mana tergantung dari ketajaman fokus retina dalam bola mata dan
sensitifitas dari interpretasi di otak. Pratikum mengenai visus
(ketajaman penglihatan) dilakukan dengan menggunakan alat Optotype Snellen,
yaitu sebuah ukuran kuantitatif suatu
kemampuan untuk mengidentifikasi simbol-simbol berwarna hitam dengan latar
belakang putih dengan jarak yang telah distandarisasi serta ukuran dari simbol
yang bervariasi. Ini adalah pengukuran
fungsi visual yang tersering digunakan dalam klinik.

Gambar 1. Optotype
Snellen
Optotype Snellen diletakkan pada jarak (d) 6 meter (20
feet) dari tempat duduk OP, kemudian dengan menggunakan dua mata, OP membaca
huruf yang ada pada papan optotype snellen satu demi satu dalam tiap deret
hingga diketahui nilai D. Dengan diketahuinya nilai d dan D maka selanjutnya
akan dapat ditentukan nilai visus OP.
Pemeriksaan ketajaman mata (visus) yaitu dengan rumus V = d / D
V = Visus
d = Jarak alat
dengan OP
D = Jarak tertentu
sehingga OP dapat membaca huruf dalam satu deret.
Optotype Snellen digunakan untuk pemeriksaan visus sebab huruf optotype
yang ada dirancang sesuai uji ketajaman penglihatan yang kemungkinan 2 garis
terlihat terpisah dan tetap terlihat segaris, sedangkan huruf-huruf di garis
terkecil yang dapat dibaca orang normal pada jarak 6 meter memberi sudut penglihatan
5 menit dan garis CII huruf dipisahkan oleh sudut sebesar 1 menit. Dengan
demikian jarak pisah minimal pada orang normal sesuai dengan sudut penglihatan
sebesar sekitar 1 menit.
Setelah itu, melakukan hal yang sama namun jaraknya diubah menjadi 5 meter.
Kemudian OP diminta untuk menutup salah satu matanya dengan tangan namun tidak
boleh ditekan, karena akan mempengaruhi ketajaman mata. Dengan jarak 6 meter,
OP diminta membaca huruf demi huruf, melakukan hal yang sama namun jaraknya
diganti menjadi 5 meter.
Berkas cahaya sejajar yang jatuh ke suatu lensa bikonveks akan mengalami
pembiasaan suatu titik (fokus prinsipal) di belakang warna fokus prinsipal
terletak di sebuah garis yang berjalan melintasi pusat lengkungan lensa, sumbu
prinsipal. Jarak antara lensa dan fokus prinsipal disebut jarak fokus prinsipal.
Berkas cahaya yang jatuh di lensa dari suatu benda dengan jarak lebih dekat dari 20ft
akan mengalami sejajar. Berkas cahaya dari suatu benda yang terletak lebih
dekat dari 20 ft akan mengalami divergensi sehingga jatuh ke fokus yang lebih
ke belakang di sumbu prinsipal daripada fokus prinsipal.
Apabila otot siliaris berada dalam keadaan istirahat maka berkas cahaya
paraleel yang jatuh di mata yang secara optis normal akan difokuskan di retina.
Selama relaksasi ini dipertahankan, maka berkas cahaya dari benda yng kurang
dari 6 m dari pengamat akan berfokus di belakang retina dan akibatnya benda
tersebut tampak kabur. Masalah yang timbul membawa berkas divergen dari benda
dekat ke suatu fokus di retina dapat di atasi dengan meningkatkan jarak antara
lensa dan retina atau dengan meningkatkan kelengkungan (akomodasi).
Ketajaman penglihatan normal adalah 20/20 atau 6/6 pada jarak sekitar 6 m.
Pada mata normal, bayangan benda yang berjarak lebih dari 6 m akan jatuh tepat
pada retina dan mata dalam keadaan relaks atau tanpa akomodasi. Sehingga bila
mata berada dalam keadaan seperti ini dikatakan mata tersebut dalam keadaan
normal. Berdasarkan hasil praktikum ini, terdapat dua OP yang memiliki nilai
visus normal 20/20 yaitu Dwiatri dan Sintia, sedangkan Ratih, Dewi, Veny, dan
Yunita memiliki visus sebesar 20/15 yang dinyatakan lebih baik dari normal dan
bukan rabun dekat.
OP Riski dan Anis memiliki visus (ketajaman penglihatan) yang kurang karena
nilai visusnya sebesar 20/25 dan 20/40 atau dengan kata lain pembentukan
bayangan pada retina OP dalam pemfokusan
cahaya sedikit mengalami gangguan. Gangguan yang dialami OP terjadi pada proses konvergensi bola mata.
Jika pada mata normal, kemampuan memfokuskan kedua bola mata pada dua objek
yang berbeda dapat dilakukan secara bersamaan pada satu benda, maka pada OP Riski
dan Anis kemampuan memfokuskan kedua bola mata tidak dapat dilakukan dengan
baik, karena tidak mampu mngearahkan cahaya dari suatu benda agar jatuh pada titik
sesuai pada retina kedua mata.
Pada pengamatan dengan menggunakan satu mata tertutup dihasilkan ketajaman
penglihatan hampir semua OP menjadi semakin berkurang atau menurun, sedangkan
ketajaman penglihatan OP Riski dan Anis tetap.
Visus (ketajaman penglihatan) sangat dipengaruhi oleh sifat pisis mata,
oberasi (kegagalan sinar
untuk berkonvergensi atau bertemu di 1 titik focus setelah melalui suatu system
optic), besarnya pupil, komposisi cahaya, mekanisme akomodasi, elastisitas otot, warna yang kontras, besar kecilnya stimulus, durasi,
intensitas cahaya, serta faktor retina (semakin kecil dan rapat sel kerucut). Untuk dapat melihat
benda, stimulus (cahaya) harus jatuh di reseptor dalam retina yang selanjutnya
diteruskan ke pusat penglihatan (fovea sentralis) dan diperlukan ketajaman
penglihatan. Bila kita melihat satu benda dengan kedua belah mata maka benda
tersebut dapat terlihat dengan baik karena jatuh di titik identik, tetapi bila
bola mata diganggu yaitu dengan menutup satu mata maka akan terlihat benda
rangkap (diplopia ) karena tidak jatuh di titik identik.
Untuk
menghasilkan detail penglihatan, sistem optik mata harus memproyeksikan
gambaran yang fokus pada fovea, sebuah daerah di dalam makula yang memiliki
densitas tertinggi akan fotoreseptor konus/kerucut sehingga memiliki resolusi
tertinggi dan penglihatan warna terbaik. Ketajaman dan penglihatan warna
sekalipun dilakukan oleh sel yang sama, memiliki fungsi fisiologis yang berbeda
dan tidak tumpang tindih kecuali dalam hal posisi. Ketajaman dan penglihatan
warna dipengaruhi secara bebas oleh masing-masing unsur. Cahaya datang dari sebuah fiksasi objek
menuju fovea melalui sebuah bidang imajiner yang disebut visual aksis.
Jaringan-jaringan mata dan struktur-struktur yang berada dalam visual aksis
(serta jaringan yang terkait di dalamnya) mempengaruhi kualitas bayangan yang
dibentuk.
Struktur-struktur
ini adalah lapisan
air mata, kornea, COA (Camera Oculi Anterior = Bilik Depan), pupil, lensa,
vitreus dan akhirnya retina sehingga tidak akan meleset ke bagian lain dari
retina. Bagian posterior dari retina disebut sebagai lapisan epitel retina
berpigmen (RPE) yang berfungsi untuk menyerap cahaya yang masuk ke dalam retina
sehingga tidak akan terpantul ke bagian lain dalam retina. RPE juga memiliki
fungsi vital untuk mendaur ulang
bahan-bahan kimia yang digunakan oleh sel-sel batang dan kerucut dalam
mendeteksi photon. Jika RPE rusak maka kebutaan dapat terjadi.
Seperti
pada lensa fotografi, visus dipengaruhi oleh diameter pupil. Aberasi optik pada
mata yang menurunkan tajam penglihatan ada pada titik maksimal jika ukuran
pupil berada pada ukuran terbesar (sekitar 8 mm) yang terjadi pada keadaan
kurang cahaya. Jika pupil kecil (1-2 mm), ketajaman bayangan akan terbatas pada
difraksi cahaya oleh pupil. Antara kedua keadaan ekstrim, diameter pupil yang
secara umum terbaik untuk tajam penglihatan normal dan mata yang sehat ada pada
kisaran 3 atau 4 mm.
Pada praktikum visus, perlakuan ketiga dilakukan dengan
merubah jarak OP dengan huruf Snellen. Pada
manusia normal, perubahan jarak tersebut akan memberi dampak memperjelas
penglihatannya sebab cahaya jauh difokuskan di retina tanpa akomodasi,
sementara kekuatan lensa ditingkatkan untuk akomodasi untuk memawa sumber dekat
ke fokus yang menyebabkan benda menjadi terlihat lebih jelas, pada mata OP yang
normal semakin dekat jarak OP dengan huruf Snellen akan membuat matanya mampu
melihat lebih jelas lagi seperti pada OP Riski, Sintia, dan Anis. Sedangkan
pada OP yang lain ketajaman penglihatannya tetap seperti pada jarak 6 meter.
Sedangkan pada perlakuan terakhir
yaitu dengan jarak 5 meter dan melihat dengan satu mata, OP Dwiatri dan Anis
mengalami kemunduran visus yaitu dari nilai D=20 menjadi 30, begitu pula dengan
OP Sintia, Veny dan Yunita yaitu dari D=15 menjadi 25. Hal tersebut sama halnya
dengan yang terjadi pada perlakuan dengan jarak 6 meter dan melihat dengan satu
mata yaitu disebabkan karena bayangan tidak jatuh di titik identik akibat bola
mata di ganggu. Sedangkan OP Ratih dan Dewi tidak mengalami perubahan nilai
visus yaitu tetap D=15. Hal ini dikarenakan OP mampu beradaptasi dengan
gangguan yang diberikan dan memiliki ketajaman penglihatan yang cukup baik. OP
Riski mengalami kenaikan nilai D yaitu dari 20 pada saat menggunakan 2 mata
menjadi 15 saat menggunakan 1 mata, hal tersebut juga dikarenakan OP mampu
beradaptasi dengan baik meskipun bola mata diberikan gangguan.
Terdapat banyak faktor yang
menyebabkan berbeda-bedanya nilai visus pada setiap orang. Hal ini disebabkan
oleh bermacam-macam faktor seperti faktor optik, misalnya keadaan mekanisme
pembentukan bayangan di mata, faktor retina, misalnya keadaan sek kerucut, dan
faktor rangsang, termasuk penerangan, terangnya rangsang, kontras anatara
rangsang dan latar belakang serta lamanya waktu rangsangan.
Visus juga dipengaruhi oleh diameter pupil. Aberasi optik pada mata yang
menurunkan tajam penglihatan ada pada titik maksimal jika ukuran pupil berada
pada ukuran terbesar (sekitar 8 mm) yang terjadi pada keadaan kurang cahaya.
Jika pupil kecil (1-2 mm), ketajaman bayangan akan terbatas pada difraksi
cahaya oleh pupil. Antara kedua keadaan ekstrim, diameter pupil yang secara
umum terbaik untuk tajam penglihatan normal dan mata yang dehat ada pada
kisaran 3-4 mm. Namun, pada praktikum kali ini tidak digunakan pengukuran
diameter pupil untuk ketajaman visus.
Kesimpulan
- Cara pemeriksaan visus secara klinis dapat
menggunakan huruf dari Optotype Snellen
yaitu sebuah
ukuran kuantitatif suatu kemampuan untuk mengidentifikasi simbol-simbol
berwarna hitam dengan latar belakang putih dengan jarak yang telah
distandarisasi serta ukuran dari simbol yang bervariasi. Selanjutnya pemeriksaan ketajaman mata (visus) yaitu dengan rumus V = d / D, V =
Visus, d = Jarak alat dengan OP, dan D = Jarak tertentu sehingga OP dapat
membaca huruf dalam satu deret.
- Ketajaman
visus normal berada pada 20/20 atau 6/6. Dari kedelapan OP diperoleh nilai visus yaitu
Dwiatri 20/20, Ratih 20/15, Dewi 20/15, Riski 20/25, Sintia 20/20, Veny
20/15, Anis 20/40, dan Yunita 20/15.
- Nilai visus (ketajaman penglihatan)
dengan menggunakan dua bola mata lebih baik dari pada nilai visus dengan
menggunakan satu bola mata dengan satu bola mata lainnya yang ditutup.
- Jarak alat dengan OP mempengaruhi
nilai visus yaitu pada jarak yang lebih dekat nilai visusnya lebih tinggi.
Daftar Pustaka
Gita N. 2000. Pengaruh Pemakaian Kacamata Las Terhadap
Ketajaman Penglihatan Pada Pekerja Las Terhadap Ketajaman Penglihatan Pada
pekerja Las Karbit di Wilayah Pinggir Jalan Goa Jatijajar Kebumen. Purwokerto:
Kementrian Pendidikan Nasional Universitas Jenderal Soederman Fakultas
Kedokteran dan Ilmi-ilmu Kesehatan Jurusan Kesehatan Masyarakat.
Ganong ..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar